Para Pendidik Perlu Menghargai Kemampuan Siswa
Yermias Here,
S.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Larantuka
Pendidikan Agama
Kristen (PAK) adalah salah satu mata pelajaran wajib
yang diajarkan pada setiap
jenjang pendidikan. Ditingkat
Sekolah Menengah Atas (SMA), pelajaran ini menjadi
salah satu mata pelajaran yang menentukan seorang siswa naik kelas atau tidak. Hal ini karena PAK merupakan salah satu mata
pelajaran yang penting karena berisi tentang materi-materi fundamental
bagi kehidupan manusia yakni etika, moral dan karakter atau budi
pekerti. Namun hal ini bukan berarti pelajaran PAK meluluh menitikberatkan pada
aspek teori atau pengajaran saja tetapi lebih cenderung pada aspek pengalaman
keagamaan. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa PAK tidak hanya
mengajarkan siswa untuk mahir soal iman dan pokok-pokok iman kristen secara
turun-temurun, tetapi lebih itu PAK juga menekankan
aspek kehidupan yang harmonis untuk dapat hidup dalam masyarakat menjadi
pribadi-pribadi yang jujur, luhur dan berbudi pekerti. Hal ini dapat kita
bandingkan dengan empat prinsip utama dalam pembelajaran PAK, antara lain:
Pertama, learning
to know. Learning to know berhubungan dengan kemampuan kognitif peserta
didik. Kognitif peserta didik harus dirangsang untuk mampu berpikir, menganalisa,
dan menginterpretasikan. Kaitannya
dengan PAK, pendidik bertugas untuk membuat bahan pembelajaran dari Alkitab yang bisa merangsang kemampuan peserta didik yang
akhirnya bisa menginterpretasikan dalam kehidupannya. Peserta didik dimampukan
untuk mengetahui segala sesuatu tentang dirinya sendiri, dunianya, sesama,
lingkungannya, dan pengetahuan akan Allah serta segala firman-Nya.
Kedua, learning to do. Pengetahuan peserta didik yang telah
diperolehnya dalam proses belajar diarahkan untuk mengaplikasikannya. Mereka
harus belajar untuk melakukan firman Tuhan. Dengan demikian peserta didik dapat
menjadi garam bagi dunia sebagai orang beriman. Ketiga, earning to be. Learning to be menekankan pada
pengembangan potensi kepribadiannya. Peserta didik diarahkan untuk memiliki
integritas hidup ditengah masyarakat. Sebagi murid Kristus, peserta didik
diharapkan mampu hidup seperti karakter Tuhan Yesus. Keempat, learning to life
together. Peserta didik adalah makhluk individu yang hidup ditengah
makhluk sosial. Berhubung karena hidup ditengah makhluk sosial peserta didik
membutuhkan orang lain. Orang lain merupakan objek pengaplikasian kasih Allah
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam makhluk sosial inilah siswa
mengaktualisasikan dirinya karena disitu tempat ia bertumbuh, berkembang,
bahagia, tabah, dan lain sebagainya. Kelima, pembentukan spiritualitas. Seorang siswa yang memiliki
spiritualitas yang bagus maka ia mampu memahami makna keberadaannya dan
bagaimana ia berperan menjadi berkat bagi bagi orang lain serta memuliakan
Allah (Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama
Kristen dalam http://www.academia.edu/).
Hal ini senada juga
dikatakan Homrighausen dan Enklaar (2005: 25) yang menegaskan bahwa pengetahuan
akal dan pengakuan iman yang murni belumlah mencukupi. PAK juga bukan saja mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan masa lampau, tetapi ingin menghidupkan iman seseorang
sehingga berbuah dengan indahnya, baik di dalam hidup perseorangan, maupun
dalam persekutuan jemaat seanteronya dan di dalam masyarakat umum. Inilah
hakekat pendidikan agama kristen yang sebenarnya dan merupaka hal yang unik
dari pendidikan ini.
Namun
dalam praktiknya khususnya dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dalam
hubungan dengan PAK, guru sering terjebak
dalam aspek penilaian pengetahuan akal saja dan mengabaikan aspek afektifdan psikomotorik siswa. Guru kadang lupa, kalau setiap siswa adalah pribadi yang
unik, memiliki kelebihan dan
kekurangan yang tidak bisa
disamakan atau dibanding-bandingkan antara siswa satu dengan siswa lainya. Bahkan ditemukan adanya
perlakuan yang tidak adil antara satu siswa dengan siswa yang lainnya. Sehingga
sering tampak ada pengkotak-kotakan status siswa antara siswa pintar dan siswa
bodoh. Siswa dalam kelompok pintar biasanya sering disanjung-sanjungkan
sedangkan siswa pada kelompok yang lain dicap sebagai siswa bodoh. Dampaknya, siswa yang dicap negatif demikian
merasa minder bahkan bersikap apatis. Bahayanya
lagi, ia menjadi pribadi yang
hidup dengan perasaan bersalah karena tidak dilahirkan seperti siswa-siswa lain
yang dianggap lebih pintar dan cerdas, dan bahkan dia tidak mampu menemukan jati
diri yang sesungguhnya.
Dari fenomena
faktual ini mau menunjukkan bahwa sebenarnya para pendidik belum memaksimalkan gaya belajar anak dalam
proses PAK. Ada beragam cara yang dapat kita coba salah
satunya yang dapat penulis tawarkan, antara lain: Pertama, meminta
siswa menuliskan kelebihan dan kelemahan dalam diri. Kedua, menjelaskan
bahwa semua mata pelajaran sama penting. Ketiga, menghargai dan memberi
motivasi terhadap jawaban siswa. Keempat, meyakinkan bahwa setiap
pribadi adalah berharga serta
menghindari kata-kata yang mengerdilkan kepribadian siswa seperti kata bodoh, tolol
dan dungu dan kelima berusaha untuk
menjadi teladan bagi siswa. Dengan demikian disaat siswa dihargai, mereka akan semakin berani menyampaikan ide dan gagasan,
tidak takut jika membuat kesalahan, semangat belajar tinggi dan memiliki
kemauan untuk mengoreksi diri.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya, tidak ada siswa yang bodoh dan tak
mampu. Guru dituntut untuk mengenal kelebihan dan kelemahan
setiap siswa. Berilah kesempatan kepada siswa untuk mengekspresi potensi dalam diri,
memberi motivasi dan penghargaan yang sama untuk setiap mereka. Hargai siswa tak cukup dari aspek
kognitif semata, melainkan menilai juga dari aspek afektif dan psikomotorik. Setiap siswa
diciptakan oleh pencipta-Nya untuk berhasil dan memberi buah dalam hidupnya. Tidak ada pribadi yang sempurna,
kesempunaan hanya milik Allah. (*)
Sumber: arsip Media Pendidikan Cakrawala NTT
Post a Comment