PUDARNYA KARAKTER GURU SEJATI
Damianus
D. Lelangaya, S.Pd
Guru SMAS Frater Don Bosco
Lewoleba
Dalam falsafah Jawa guru diartikan
sebagai sosok tauladan yang harus di “gugu dan ditiru”. Dalam konteks falsafah Jawa ini guru dianggap sebagai
pribadi yang tidak hanya bertugas mendidik dan mentransformasi pengetahuan di
dalam kelas saja, melainkan lebih dari itu guru dianggap sebagai sumber
informasi bagi perkembangan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik
sekaligus dapat digugu dan ditiru teladannya. Hal ini
penting ketika ombak
krisis terus mendera moralitas
anak bangsa di negeri ini. Apalagi guru dikenal sebagai pendidik
sejati yang tak pernah lelah mengajar dan mendidik sepanjang
masa tanpa peduli dunia ini seperti apa. Untuk itu dalam menjalankan perannya, guru harus membekali diri dengan kualitas,
memiliki multi kompetensi pedagogik, sosial dan profesional. Dengan demikian pekerjaan seorang guru akan melahirkan peserta didik dengan
SDM-nya yang cerdas,
tangkas, mandiri dan bermoral.
Memilih Jadi
Guru
Profesi guru
telah eksis sejak sejarah peradaban manusia ada. Guru dipercaya sebagai salah
satu penjamin keberlangsungan peradaban itu sendiri. Minat yang begitu besar
menjadi guru saat ini tentu sebuah kegembiraan. Apalagi hal itu dikaitkan
dengan kurangnya tenaga guru, terutama di daerah terpencil. Tetapi apakah minat
besar itu berdampak kepada lahirnya generasi berkualitas? Yakinkah ambisi itu
muncul dari keinginan merubah nasib dan masa depan bangsa? Yang menjadi kekuatiran saat ini adalah tingginya
minat orang menjadi guru dikarenakan kebijakan sertifikasi guru yang telah
dijalankan pemerintah, bukan karena kesejatian jiwa sebagai guru. Jika pilihan menjadi guru telah diangankan dalam waktu
lama hingga sekarang, inilah yang bijak, karena setiap orang pada hakikatnya
ingin bertahan dengan pilihan itu. Bertahan pada satu kecintaan untuk mengabdi
dan mencari kesejahteraan jiwa. Namun statement itu telah terkontaminasi. Sekarang menjadi guru bukan lagi pilihan utama sebagai
abdi, melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Presitius, karena di tengah
sulitnya mencari lahan pekerjaan, profesi guru lalu jadi incaran. Jika dahulu guru berjalan dalam kesunyian, jauh dari keramaian,
kini guru berjalan dengan tegak busungkan dada, di tengah keramaian, seolah
ingin berikrar “saya adalah guru”.
Karakter pendidik sejati, seperti guru-guru kita dahulu lambat laun terus bahkan telah memudar.
Coba kita bandingkan niat suci guru-guru dahulu untuk mengantarkan siswa menuju gerbang kesuksesan benar-benar merekat pada
mereka. Filosofi itu telah menyatu sejak mereka bercita-cita jadi guru, tanpa
menghiraukan berapa finansial yang dihasilkan. Mereka tetap berdiri di depan
kelas, apakah ruang itu nyaman atau tidak, di ruang belajar
yang atapnya bocor, diintip terik matahari di siang bolong, atau terpercik air
ketika hujan, di gedung yang hampir ambruk atau bangunan sekolah yang
bertengger di lahan persengketaan. Persetan semua itu. Guru sejati tetap
mengajar. Mengajar dan mendidik adalah jiwa mereka. Seperti halnya roh yang
tidak akan terlepas dari raga. Merekalah insan-insan yang tetap beranggapan
bahwa uang dan material bukanlah segala-galanya. Mereka tidak mengenal apa sertifikasi guru apalagi
berhasrat ingin memiliki sertifikat itu. Mereka juga tidak berkeinginan bergaji
besar jika kualitas murid hasil bimbingannya lulus asal-asalan. Filosofi luhur
itulah yang kini tergores oleh arus deras konsumerisme pendidikan. Embel
bergaji besar menyebabkan banyak orang yang ingin jadi guru, dan memaksakan
diri berjiwa guru tanpa panggilan nurani.
Merindukan Keteladanan
Kekeliruan
besar saat yaitu terjadi
misorientasi memilih profesi guru. Berlomba-lomba ingin jadi guru, tapi tidak
diiringi dengan keinginan mulia, sebagai pendidik sejati. Guru yang sejati, harus dibekali ilmu batin.
Bukanlah guru yang baik jika tidak memiliki ilmu penguasaan diri, ilmu
kesabaran, ilmu menahan nafsu, ilmu kelemahlembutan dan ilmu kasih sayang.
Orientasi yang keliru memilih profesi guru akan berdampak pada hasil
pendidikan. Di saat pemerintah memberikan penghargaan materi, meningkatkan
kesejahteraan guru, di saat itu pula orang berlomba-lomba menjadi guru. Maka akan lahirlah guru yang mengajar tanpa filosofi.
Kita tahu, mengajar bukanlah sebuah sinetron, drama atau stand up comedy yang materinya mengikuti selera pemirsa, walau
harus melanggar norma dan menjatuhkan harga diri baik dirinya sendiri bahkan harga
diri orang lain. Kita harus
berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan sebuah materi
pembelajaran di sekolah, menarik atau membosankan siswa untuk mempelajarinya.
Fakta membuktikan sebagian guru sekarang tidak punya
motivasi dan semangat untuk mengajar di kelas. Entah karena malas (baca: tidak
berminat jadi guru) atau kurang menguasai materi pembelajaran, sering guru
tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai
dengan materi dan waktu yang tersedia. Waktu pelajaran di kelas dihabiskan
dengan mencatat ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi motivasi dan
wawasan secukupnya tentang materi tersebut.
Sungguh, kita
rindu akan sosok guru masa lalu. Sosok guru yang menjadi pohon rindang, meneduhkan siapapun bernaung di bawahnya, menjadi
kapal penyelamat bagi orang-orang yang terhampar di lautan, menjadi air pereda
dahaga bagi yang kehausan, bagai lilin yang bersinar merelakan diri binasa asal
orang bisa menikmati kegelapan. Kini mereka hanya termangu di rumah, tak
berdaya lagi untuk berdiri di depan kelas, terhalang perputaran waktu. Sebagai penerus cita-cita suci mereka mampukah kita
mengembalikan citra guru sejati, seperti guru-guru kita dahulu, di usia kita yang juga semakin
senja? (*)
Sumber: arsip Media Pendidikan Cakrawala NTT
Post a Comment