Header Ads

Penentuan Kelulusan: BUAH SIMALAKAMA BAGI SEKOLAH



Oleh : Drs. Adrianus Fua Radja, M.Pd

Pengawas Sekolah pada Dinas PKPO Kabupaten Ngada/ Ketua PGRI Kabupaten Ngada

Kebijakan baru tentang Ujian nasional menjelaskan bahwa penentu kelulusan ada di tangan sekolah. Hal ini sejalan dengan amanat peraturan perundang-undangan, khususnya PP Nomor 19 Tahun 2006 tentang Standar Nasional Pendidikan. Upaya untuk mengantar kembali penentuan kelulusan oleh sekolah, juga merupakan perjuangan PGRI beberapa tahun terakhir. Sekolah kembali menjadi lembaga otonom yang menentukan kelulusan siswanya. Namun, hal ini tentulah bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Mampukah sekolah melaksanakan perannya dengan baik? Kredibilitas sekolah dipertaruhkan. Kejujuran guru dan kepala sekolah menjadi jaminannya. Kita tidak sedang menikmati madu, tetapi kita sedang memisahkan racun yang bercampur dengan madu. Sekolah sedang berhadapan dengan buah simalakama.
Evaluasi Pendidikan
Rapph Tyler (1950) dalam Arikunto (2001:3) mengatakan bahwa evaluasi pendidikan merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa dan bagianmana tujuan pendidikan yang sudah tercapai. Jika belum, apa sebabnya. Sedangkan evaluasi dan penilaian pendidikan menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai berikut, (1) Penilaian dimengerti sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; (2) Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan; dan (3) Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
Selain itu adapun beberapa ketentuan tentang UN adalah: (a) UN dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel; (b) UN diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Pemerintah menugaskan BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan) untuk menyelenggarakan UN yang diikuti peserta didik di lembaga pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan; (c) Dalam penyelenggaraan UN, BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, dan satuan pendidikan. Ketentuan mengenai UN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk, (a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (b) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; (d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kedudukan Sekolah
Kebijakan tentang kelulusan ditentukan oleh sekolah dan UN tidak lagi menjadi satu-satunya syarat kelulusan tentunya dapat menjadi pegangan para penyelenggara pendidikan. Peserta didik yang dinyatakan lulus harus telah memiliki kompetensi-kompetensi tertentu, yaitu kompetensi di bidang intelektual, kompetensi di bidang sikap dan kompetensi dari sisi keterampilan. Sedangkan nilai UN hanya bisa mengukur ketercapaian kompetensi di bidang intelektual. Karena itu ukuran yang digunakan juga harus bisa mengukur proses. Nilai proses yang diperoleh selama belajar harus dapat dijadikan pertimbangan untuk kelulusan seorang peserta didik. Jika demikian, nilai UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan kelulusan adalah suatu pernyataan yang benar dan dapat diterima.
Peran sekolah sebagai penentu kelulusan tidaklah mudah. Sekolah dituntut memiliki himpunan data yang cukup, autentik, akurat, terpercaya, dan akuntabel sehingga keputusannya tentang lulus tidaknya seorang siswa benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah diharapkan dapat mempertimbangkan sebaik mungkin tentang syarat-syarat kelulusan tersebut agar peserta didik yang dinyatakan lulus benar-benar memiliki kompetensi minimum untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk masuk ke dunia kerja. Apabila hal ini tidak dipikirkan dengan benar maka akibatnya akan ditanggung oleh sekolah sendiri. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah akan berkurang, sekolah dapat menjadi sasaran ketidakpuasan peserta didik yang tidak lulus dan kualitas lulusan sekolah berkurang.

Posisi sekolah sebagai penentuan kelulusan siswa dalam UN memang bagai memakan buah simalakama, makan bapa mati, tidak makan ibu mati. Posisi buah simalakama dapat terjadi apabila meluluskan siswa yang tidak memenuhi syarat. Karena itu peran guru sebagai seorang profesional dalam bidang pendidikan sangat dibutuhkan. Seorang guru diharapkan mengenal dengan baik kemampuan anak didiknya. Pengenalan itu harus pula dibuktikan secara fisik berupa data yang akurat dan objektif. Demikian pula halnya dengan kepala sekolah yang memiliki peran sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan motivator di sekolah. Kepala sekolah harus memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin ketersediaan data yang mendukung keputusannya menyatakan lulus tidak lulusnya seorang siswa. Hal yang sama berlaku pula bagi seorang pengawas sekolah yang ditugasi untuk mendampingi sekolah-sekolah, memiliki tanggung jawab dan memiliki data yang lengkap untuk mendukung lulus atau tidak lulus seorang siswa. Sinergisitas antara guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah dapat membantu sekolah untuk menentukan kelulusan seorang siswa secara tepat dan benar.(*)


sumber:arsip Media Pendidikan Cakrawala NTT

Tidak ada komentar