GURU: BUKAN SAJA PINTAR, TETAPI HARUS MAMPU MEMPINTARKAN
Drs. Yohanes Bere Aton
Guru SMPN I Tasifeto
Timur-Belu
Guru adalah orang yang diguguh
(dipatuhi, ditaati) dan ditiru (diteladani) tanpa reserve, tanpa diragukan
ketepatannya/ kebenarannya.Guru adalah seorang pintar yang sedang berusaha mempintarkan
orang lain.
Menyimak
pengertian-pengertian guru ini maka dapat disimpulkan bahwa seorang guru itu
memang haruslah pintar, tetapi dengan pintarnya saja, dia belum bisa disebut
sebagai guru. Keguruan seorang guru barulah nampak bila dengan pintarnya itu ia
mampu mempintarkan orang lain lagi (siswa); yakni mempintarkan otak,
mempintarkan ketrampilan fisik dan
mempintarkan sikap-tindakan. Ada banyak sekali orang pintar, tetapi tidak semua
orang pintar itu adalah guru. Keguruan dari seorang guru belum terletak pada
kepintarannya, tetapi terletak pada kemampuan mempintarkannya. Namun harus
diakui bahwa kepintaran itu sendiri adalah syarat mutlak yang harus dimiliki
oleh seorang guru karena kepintaran itu adalah dasar/ fondasi, tempat berpijaknya keguruan dari seorang
guru. Guru haruslah pintar, karena orang bodoh tidak mungkin dapat mempintarkan
orang lain. Maka adalah keharusan bahwa seorang guru haruslah pintar. Pada
seorang guru tidak boleh ada kata “tidak tahu”.
Guru haruslah
tahu. Tahu ilmu dan tahu cara untuk mempintarkan. Maka sepanjang perjalanan
keguruan dari seorang guru, ia harus terus-menerus selalu dalam usaha untuk
tahu tentang “segala hal” dan tahu tentang “cara terbaik” untuk mempintarkan
orang lain. Ia haruslah tahu ilmu dan tahu cara agar dengan tahunya itu ia
dapat men-tahu-kan orang lain lagi. Bila ia sendiri sedang tidak tahu maka
dengan apa ia akan men-tahukan orang lain. Ia harus terus-menerus berusaha
untuk mendekati puncak tahu yang tertinggi. Memang, umumnya seorang guru itu tidak
langsung memulai karir keguruannya dengan pintar optimal. Pintarnya baru akan
bertambah-tambah dan dimatangkan seiring perjalanan waktu keguruannya,
sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit, dari bukit. Di dalam ia mengajar
ia juga sedang belajar; dan dari belajarnya itu ia terus-menerus memperbaiki
mengajarnya. Walaupun hingga akhir karir gurunya nanti ia tidak akan pernah
mencapai puncak kepintaran yang tertinggi karena yang tertinggi itu adalah
milik Yang Agung, tetapi dengan semakin mendekati puncak tertinggi, akan
semakin baiklah dia.
Seorang guru,
sebelum menjadi guru, ia telah terlebih dahulu dipersiapkan di perguruannya. Ia
dipersiapkan dengan ilmu dan cara. Setelah ia tiba di sekolah, ilmu-ilmu itu ia
ajarkan kembali kepada siswa melalui cara-cara, dengan harapan agar siswa yang
masih belum pintar itu dapat berubah menjadi pintar. Bahwa, dengan baru saja
memiliki ilmu-ilmu itu, dia belumlah disebut guru. Tetapi ketika ia dengan
ilmu-ilmunya itu, berusaha melalui cara-caranya yang baik sehingga dapat
mempintarkan siswa-siswanya maka di situlah terwujud keguruannya. Pintar saja
belumlah guru, tetapi “dapat mempintarkan” barulah guru.
Oleh karena
itu, bila seorang guru, setelah mengajar, siswa-siswanya masih belum pintar
juga maka dia belumlah berhasil. Tetapi setelah ia mengajar lalu siswa-siswanya
menjadi pintar, maka barulah ia berhasil. Lazimnya, keberhasilan siswa di
sekolah dilihat dari nilai ujiannya dan sikap tindakannya. Dan pada kedua hal
yang sama ini, terbaca keberhasilan guru. Hasil siswa adalah hasil guru, hasil
siswa equivalen (sebanding) dengan hasil guru, hasil guru menumpang pada hasil
siswa. Hasil siswa adalah hasil ujiannya masing-masing, sedangkan hasil guru
adalah hasil rata-rata dari seluruh siswa. Keduanya (hasil siswa dan hasil
guru) sama-sama diukur dengan KKM yang sama. Bila KKM = 75, rata-rata nilai siswa
= 65 maka guru “tidak lulus”.
Seorang guru
yang baik, di dalam hatinya haruslah selalu ada pemahaman seperti ini sehingga
dengannya ia selalu disetir untuk bekerja sungguh-sungguh sebagai seorang guru
yang baik dan benar; seperti layaknya seorang petani yang bekerja dengan
sungguh-sungguh di kebunnya agar hasil penennya melimpah. Sebab seandainya
tidak, maka ia akan bekerja dengan sekedar-sekedar saja layaknya seperti
seorang yang sedang menghamburkan jagung kepada ayam sambil berkata, “mau pilih
terserah, tidak mau pilih juga terserah yang penting saya sudah
menghamburkannya kepadamu”.
Seorang guru
ketika mengajar, ia selalu antusias (semangat menggebu-gebu) dengan suatu
harapan baik agar siswa yang sedang diajarnya itu dapat menjadi pandai. Ketika
siswa yang diajarnya itu sulit menjadi pandai maka ia selalu mencari cara lain
lagi yang lebih baik. Ia selalu berusaha secara terus-menerus (sepanjang karir
keguruannya) tentang cara terbaik mempintarkan siswa-siswanya. Pada usahanya
seperti inilah terletak esensi tertinggi dari fungsi seorang guru itu. Di dalam
usahanya seperti inilah kesejatian dari
seorang guru itu dapat dibaca sehingga ia dapat di golongkan apakah termasuk
dalam kelompok “sungguh-sungguh guru” atau kelompok “sekedar guru-guruan”. Bila
pada diri seorang guru itu sudah tertanam pemikiran ini dan sudah selalu
melaksanakannya tiap hari maka sesungguhnya
ia sudah sedang berada pada arah dan tindakan keguruan yang benar, guru yang
hebat, guru yang sedang berjalan dan bertumbuh
menuju menjadi guru profesional. Guru profesional adalah guru yang sudah sedang
memiliki banyak ilmu dan sudah sedang memiliki banyak cara terbaik untuk
mempintarkan siswa. Keprofesionalan dari seorang guru akan terbaca pada
kelihailannya (strateginya, cara-caranya) mempintarkan siswa, dan hasil akhir
yang di capai dalam KBM-nya. Status guru yang memiliki banyak ilmu (S3
sekalipun), tetapi belum bisa mempintarkan orang lain maka ia belumlah menjadi
seorang guru profesional dalam artian yang sesungguhnya. Guru yang profesional
bukan hanya karena pintarnya saja tetapi guru yang mampu “mampu mempintarkan”
orang lain. (*)
Sumber: arsip Media Pendidikan Cakrawala NTT
Post a Comment